Ketika saya mengirimkan tulisan ke Blogfam.com yang berjudul 3 Jam di Hongkong, sang admin bertanya “profesinya mau ditulis apa, de?”
Untuk pengangguran macam saya yang julukannya MACAN TERNAK DJARUM SUPER (mama cantik *uhuk* tukang anter anak, djarang di rumah suka pergi) … saya cuma bisa menjawab:
Mompreneur with two cookie monsters
Hehehehe
Saya memang memutuskan untuk Tutup Karir, bukan pindah karir … bagi saya yang namanya karir itu merupakan jenjang yang kita raih saat bekerja untuk orang lain. Jadi saya memilih kata TUTUP. Sekarang saya membuka lembaran baru dalam hidup saya untuk melakukan wirausaha, yang pelakunya biasa disebut entrepreneur, karena saya juga seorang ibu maka saya menggunakan kata yang lagi hits sekarang yaitu MOMPRENEUR.
Meski suami mendukung langkah saya tsb, beliau tidak bosannya mengingatkan saya bahwa tujuan utama saya di rumah adalah demi anak-anak. Karena itu apapun kegiatan saya, yang menjadi prioritas utama haruslah anak-anak.
Tidak seperti saat kerja kantoran dimana jam kerja kita sudah jelas (misal jam 8 pagi sampai jam 5 sore), jika kita bekerja dari rumah terkesan kita bisa seenaknya memanfaatkan waktu. Padahal justru tantangannya adalah kita harus bisa membagi waktu antara urusan rumah tangga dan bisnis yang kita jalankan. Sekecil apapun bisnisnya, kita harus bisa menyeimbangkan 24 jam yang kita punya.
Yang saya rasakan sejak berhenti jadi mba kantoran, justru saya makin sibuk. Bahkan pembantu di rumah juga bilang “ibu mah ngantor atau enggak, tetap aja gak pernah di rumah”
Berikut kegiatan saya sekarang:
Jam 6:30 – 7:30 –> antar 2 anak ke 2 sekolah berbeda yang lokasinya 10KM dari rumah dimana Rafa belok kanan sementara Fayra belok kiri. Jadi total perjalanan saya di jam segini sekitar 25-30KM dari rumah ke sekolah Rafa, lanjut ke sekolah Fayra, kemudian balik ke rumah lagi.
Jam 7:30 – 8:30 –> belanja ke tukang sayur dekat rumah atau ke pasar, bawa pulang ke rumah, minta pembantu masak
Jam 8:30 – 14:30 –> urusan rumahtangga / keluarga / pribadi / bisnis / silaturahmi
Jam 14:30 – 17:00 –> jemput anak + antar les
Bisa dibilang jam bebas saya itu di antara jam 8:30 sampai jam 14:30 dengan kegiatan yang ternyata lumayan padat juga:
- Senin –> biasanya saya cek toko
- Selasa –> biasanya ktemu partner bisnis (tadinya Yoga, tapi sekarang berhenti dulu)
- Rabu –> pengajian di sekolah Fayra (jam 8:30 – 10:30)
- Kamis –> pengajian di komplek (jam 8:30 – 10)
- Jumat –> les Bahasa Arab (jam 9 – 10:30)
Kegiatan di atas bisa berubah tergantung kondisi juga. Tiap 2 minggu di hari Kamis saya ke dokter gigi (perawatan behel), kadang saya juga hunting kain, kadang diskusi sama penjahit tentang design baru atau evaluasi sample, kadang stock loading ke toko, kadang saya melakukan urusan pribadi, dll. Gak jarang saya menghabiskan waktu cuma di rumah aja, sekedar bersih-bersih atau masak cemilan anak-anak. Kalau sempat buka laptop, ya kayak sekarang ini deh … update blog. Hehehe
Dengan semua kegiatan tsb, saya harus bisa mengatur jadwal dengan perencanaan yang matang. Misal ketika saya harus ke dokter gigi di klinik kantor suami dekat Monas sana, saya sekalian ke toko atau meeting dengan partner bisnis di area tengah Jakarta. Pas jam makan siang, saya manfaatkan silaturahmi makan bareng dengan teman-teman yang kantornya di sekitar Thamrin. Pokoknya kalau ada yang ngajakin ketemu, biasanya saya dengan tegas bilang “waktu gw cuma dari jam 10 pagi sampe jam 2 siang ya”
Kenapa mulai jam 10? Karena saya cuma nyetir sekitar Tangerang Selatan aja. Kalau ke tengah Jakarta, saya masih naik commuter line lanjut ojeg atau bajaj (butuh waktu 1 – 1,5 jam dari Serpong ke Jakarta).
Jam 2 saya sudah harus balik ke Serpong untuk ambil mobil dan lanjut jemput anak-anak.
Dari jam 10 ke jam 2 itu saya bisa melakukan 2 sampai 4 kegiatan. Walaupun semua kegiatan itu bisa gugur saat anak-anak memerlukan saya (misal ada lomba atau pentas di sekolah). Sekali lagi … prioritas nomor 1 adalah anak-anak dan keluarga.
Menjadi seorang mompreneur, kita harus siap untuk:
Yaitu kita harus bisa menyelesaikan segala urusan sendiri, tidak tergantung suami atau orang lain. Termasuk diantaranya menggunakan kendaraan pribadi baik motor atau mobil.
Selain kita harus belajar tentang ilmu keuangan (menetapkan biaya produksi, menentukan harga jual, melakukan pembukan arus uang) dan ilmu marketing (membuat merek, design produk, mikirin bentuk kemasan, cara memasarkan produk), kita juga harus mempelajari penggunaan alat teknologi (henpon atau komputer) untuk menunjang bisnis.
Semakin sering hunting kain, sekarang saya jadi semakin haus akan ilmu textile. Sampai saya bilang ke suami “apa sebaiknya saya sekolah design aja sekalian ya, karena pasti saya akan mendapat mata pelajaran material kain“. Setiap ke toko kain, saya selalu pergunakan waktu menunggu antrian untuk diskusi tentang aneka kain dengan para pelaku bisnis garmen lain yang lagi ngantri di sebelah saya.
- Bergabung dengan komunitas
Untuk terus membakar semangat dalam diri kita, maka berkumpul lah dengan orang yang mempunyai kegiatan yang sama.
Sekarang saya merapatkan diri dengan Srikandi TDA Tangerang, yaitu perkumpulan para pengusaha wanita sekitar Tangerang yang tergabung dalam naungan komunitas TDA.
Bulan lalu saat kopdar pertama di Bintaro, saya mendapat sharing luar biasa dari perempuan-perempuan hebat yang sudah jatuh bangun dalam perjalanan bisnisnya. Tetiba yang pernah rugi 40 juta minder sama sharing seseorang yang pernah merugi semilyar rupiah.
Anak bawang macam saya sih baru bisa jadi pendengar saja. Ada di antara peserta yang belum memiliki bisnis, gak malu untuk ikut serta karena memang niatnya untuk mendengar pengalaman dari mereka yang lebih dulu terjun ke dunia wirausaha.
Komunitas yang satu ini memang kegiatannya banyak sekali, sebagian besar gratisan pula. Coba gabung di FB atau WA grup nya, dijamin rasa semangat akan terus berkorbar untuk terus memajukan bisnis kita.
- Jalin silaturahmi / networking
Bagi pemeluk agama Islam, sudah tak asing lagi dengan perintah menjalin tali silaturahmi. Dengan silaturahmi, kita bisa mengenal orang lain, bisa bertukar informasi, bisa saling menjaga, dll. Silaturahmi juga dapat menyempurnakan rasa cinta dan interaksi sosial antar umat manusia. Bahkan ganjaran yang dijanjikan NYA bagi mereka yang menjalin silaturahmi adalah banyak rejeki dan panjang umur.
Dalam hubungan bisnis, silaturahmi bisa membuka peluang baru atau memperluas jangkauan bisnis yang sedang kita jalankan. Seorang teman menjadi reseller setelah kami bertatap muka setelah sekian tahun tak berjumpa. Bahkan saya mendapatkan beberapa penawaran kerjasama dari pertemuan tidak sengaja dengan pembaca blog ini.
—
Setiap ketemu orang, saya sering mendengar kalimat:
“waahh impian gw banget tuh, de. Bisa berhenti kerja kantoran dan punya bisnis sendiri”
Saya suka usil menjawab:
“Nah gimana mau jadi kenyataan, kalo elo masih mimpi, sementara gw udah bangun dan mulai ngejalanin”
If you woke up without a goal, go back to sleep!
—
Yuk coba kita berkaca lagi dan mempersiapkan diri. Jawab pertanyaan-pertanyaan ini:
- Maunya apa?
- Harus melakukan apa?
- Sudah melakukan apa?
Kalau punya impian, jangan cuma yang recehan. Walau dalam pelaksaannya bisa dimulai dari recehan. Yah demi sesuap nasi, sepiring berlian dan sekodi Hermes, kan?
Jadi inget tetangga sebelah yang punya cita-cita buka stand bazar di Citos setiap Ladies Day, diledekin sama partner bisnisnya “yah itu mah cita-cita recehan, kalo bisa mah kita buka toko di PIM”
Hebatnya mereka sudah mulai bergerak. Dari mulai beli baju jadi di Thamrin City untuk kemudian dijual lagi, terus beranjak mencari kain sendiri dan mempercayakan ke suatu konveksi untuk produksinya, sepertinya sebentar lagi mereka akan punya mesin dan tukang jahit sendiri nih. Artinya punya toko di PIM bukan cuma mimpi, karena mereka benar-benar bergerak dan memantaskan diri untuk mencapainya.
Dukungan keluarga, teman dan sahabat sungguh berarti bagi diri saya. Melihat mami semangat mau datang ke toko saja, saya sudah merasa bahagia. Setidaknya mami bisa lihat bahwa anak perempuannya ini serius dengan pilihan hidupnya.
Begitu juga saat mama (mertua) berkunjung ke toko, selama di perjalanan minta saya cerita secara detil tentang apa yang sudah dan akan saya lakukan untuk mengembangkan bisnis ini. Mama yang dulu mempertanyakan “apa gak sayang kalo berhenti kerja kantoran?“, sekarang justru mendukung sampai ikut hunting kain bahkan ingin membantu memasarkan di pengajian dalam kompleknya.
—
Saya masih belajar, saya baru merintis, saya cuma pemula.
Setidaknya saya sudah mulai bergerak, bagaimana dengan Anda?
Stop saying I wish
Start saying I will
Let’s make money, not excuses*!
* tagline Wina QM