Browsed by
Author: De

12 tahun bersama

12 tahun bersama

Alhamdulillah berhasil melalui 12 tahun pertama dalam pernikahan kami dengan penuh suka cita – getir pahit. Setidaknya semua itu kami hadapi bersama. Bukan hanya saya, bukan hanya dia. Tapi KAMI. Semoga ada 12 tahun kedua – ketiga – dan seterusnya. Amiiin.

Perasaan baru kemarin nulis perjalanan kehidupan kami disini, eh 3 tahun berikutnya udah berlalu ajah. Masih bahagia, alhamdulillah. Masih ada ‘Jumat Pacaran’, untuk recharge soda asmara kami *halah*. Masih berjuang mengumpulkan keping-keping puzzle kehidupan keluarga kami.

Dapat hadiah apa di hari istimewa ini, de? 12 tahun itu lama loh

Jawabannya: ditinggal workshop 3 hari. Hehehehehe

Kalo eniperseri pertama ditinggal pergi, mungkin masih jaman deh tuh yah nangis atau ngambek ke pasangan. Kalau udah 12 tahun gini, kok jatuhnya biasa yah. Abis 2x lahiran aja ditinggal dinas ke LN sebulan, kalau cuma 3 hari mah santai.

3 tahun pertama kami belajar untuk mengenal satu sama lain lebih dalam. Saling berkompromi dengan sifat dan tingkah laku masing-masing, yang mungkin saat berteman aja gak kliatan sisi lainnya. Semua ke’asli’an terlihat ketika kami bersama dalam waktu 24 jam, dalam suka dan duka.

3 tahun kedua ketika kami sudah mengetahui keaslian masing-masing, kami mulai menyamakan visi dan misi. Kami mulai membuat roadmap hidup keluarga, apa yang ingin kami capai dalam periode tertentu. Kami mulai membangun mimpi bersama untuk masa depan keluarga.

3 tahun ketiga, kami mulai berlari mengejar mimpi-mimpi kami. Derap langkah kami sudah lebih terarah … kanan … kiri … berirama sama. Kami mulai melengkapi kepingan puzle kehidupan keluarga. Pelan, tapi pasti. Tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin.

3 tahun keempat, kami sudah bisa melunasi rumah dan mobil pertama. Berani geser ke rumah kedua walau jumlah tabungan reset ke angka nol lagi. Kami mulai mengubur mengesampingkan cita-cita kami untuk melanjutkan sekolah lagi. Karena kami sadar sekarang bukan waktunya untuk mengejar cita-cita kami. Sekarang adalah waktunya kami untuk mendampingi anak-anak dalam meraih cita-cita mereka. Gak bisa cuma tanya ke anak kalau sudah besar mereka mau jadi apa, tapi sekarang kami tanya pada diri sendiri selaku orang tuanya … bisa support mereka sejauh apa, untuk membantu mereka mencapai cita-citanya.

My family is my blessing. And I’m happy for what I have. Alhamdulillah.

Tampil di TUM lagi

Tampil di TUM lagi

Alhamdulillah udah mulai pede ngirim-ngirim tulisan. Apalagi sekarang tampil untuk yang kedua kalinya:

Untuk selanjutnya, pingin kirim tulisan yang belum pernah di posting di blog ini. Niatnya nulis khusus untuk media tersebut. Semoga gak males memulainya *mecut diri sendiri*

Perkembangan Fayra

Perkembangan Fayra

Seperti yang udah saya ceritakan sebelumnya, Fayra sempat mengalami kesulitan dalam belajar membaca. Hal ini dikarenakan adanya konflik dalam penggunaan bahasa. Ternyata sulit mengajarkan anak baca tulis dalam beberapa bahasa dalam kurun waktu yang bersamaan. Harus fokus ke satu bahasa, baru kita bisa lebih mudah untuk mengajarkan bahasa lain.

Rafa tidak mengalami kesulitan ini, karena memang Rafa sudah bisa baca tulis di umur 3 tahun (sebelum masuk Play Group). Dan saya boleh bangga karena saya sendiri yang mengajarkan Rafa untuk baca tulis. Rafa baru mengenal baca tulis dalam bahasa Inggris di SD. Walau TK juga diajarkan Bahasa Inggris, tapi lebih ke percakapan. Baca tulis di sekolah tetap dalam Bahasa Indonesia. Jadi begitu Rafa masuk SD yang bahasa pengantarnya fully English, Rafa tinggal ‘decoding’ saja.

Sementara Fayra mengenal Bahasa Inggris di TK. Di saat yang sama saya mengajarkan baca tulis dalam Bahasa Indonesia di rumah. Padahal di sekolah, dengan bahasa pengantar fully English tentu saja baca tulis yang diajarkan juga dalam Bahasa Inggris. Saat yang bersamaan setiap Sabtu dan Minggu, Fayra belajar baca tulis dalam Bahasa Arab (Iqra). Akibatnya konflik deh. Setiap diberikan sebuah kata, Fayra agak sedikit lama mencernanya. Agak blank di awal, atau didahului dengan pertanyaan “ini bahasa Indonesia atau English, ma?

Walikelas Fayra juga memberi catatan di buku komunikasi. Dan saya mulai ngerem pelajaran baca tulis dalam Bahasa Indonesia di rumah. Saya juga tidak memaksakan pelajaran Iqra nya. Saya lebih fokus ke metode phonic untuk mengajar baca tulis dalam Bahasa Inggris. Setelah berjalan 2 bulan, terasa sangat perubahannya. Dipantau juga oleh walikelas dan dimasukan dalam catatan.

Catatan pertama (Term I, week 8): Fayra harus lebih mengenal huruf dan pengucapan dari huruf tersebut.

Catatan kedua (Term I, week 10): Fayra sudah mulai bisa mengikuti pelajaran dan berani bertanya jika ada yang kurang dimengertinya.

Catatan ketiga (Term II, week 2): Fayra sudah bisa mengikuti pelajaran, walau terlihat lebih menikmati ‘angka’ dari pada ‘huruf’. Bahkan sudah bisa membantu temannya yang kesulitan dalam pelajaran matematika. Yak confirmed lah ini anak saya dan Masguh, terbukti Fayra itu manusia angka – bukan manusia kata *lirik nte Dinny*

Catatan keempat (Term II, week 3): Fayra sudah bisa membaca cerita pendek dan menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan cerita tersebut. Untuk berhitung, gak usah ditanya lah ya hehehe

Alhamdulillah … yeay!

Akhirnya Fayra bisa membaca dalam Bahasa Inggris. Dan percaya atau tidak, begitu Fayra bisa baca dalam Bahasa Inggris … dia pun otomatis bisa membaca dalam Bahasa Indonesia. Walau kadang nulis Kancil menjadi Cancil hahahaha

Perjuangan terbayarkan! Dan syarat masuk SD: harus bisa baca tulis hitung … sudah dikuasai Fayra. Alhamdulillah.

I’m so proud of you sweety *kecup*

Korban 111111

Korban 111111

Tanggal 11 November 2011 memang sangat cantik. Saking cantiknya menurut salah satu koran, ada 1,000 aplikasi permohonan nikah di KUA Jakarta Pusat di tanggal tersebut. Bayangkan seribu pasang orang ingin menikah di tanggal yang sama, itu baru di Jakarta Pusat doang!

Tak pelak lagi saya menerima 3 undangan di tanggal tersebut. Pagi-pagi saya sempatkan ke acara akad nikah sepupu, sebelum berangkat ke kantor. Pulang kantor ada lagi acara resepsi teman di hotel Sahid. Sementara keponakan saya melakukan akad nikah di Mojokerto – Jawa Timur, untungnya resepsi dilaksakan hari Minggu. Jadi masih sempat Sabtu pagi saya terbang ke SBY bersama keluarga mas iwan + mami + Fayra.

Yang heboh Jumat malamnya deh tuh. Saya dan Lusi ganti baju plus dandan di kantor, sebelum kami berangkat ke hotel Sahid. Jalan di Jakarta setiap Jumat malam ditambah gerimis dan tanggal cantik, jelas macet yang mayan aduhai bikin betis berkonde. Dan saya cuma bawa kostum dibawah ini yang niatnya biar mecing sama batik Masguh:

Dengan kondisi jalan sore itu, gak memungkinkan kalo Masguh jemput saya ke kantor dulu. Jadi kami janjian untuk ketemu langsung di Sahid. Udah dandan pol ditambah dress anggun, saya dan Lusi menunggu taxi di pinggir jalan depan kantor. Sayangnya gak ada taxi kosong. Dengan sisa-sisa jiwa anak STM (kebetulan Lusi adek kelas saya), kami nekat naik ojeg. Lusi sedikit lebih cerdas, karena ternyata masih pake jeans dibalik dress nya. Sementara saya pake gamis kaos putung dibalik dress. Gak mungkin dong narik dress untuk duduk madep depan apalagi madep belakang :p.

Saya musti tersanjung atau tersinggung nih dengan hasil jepretan kamera BB Lusi? hahahaha

Rempong banget neeek duduk nyamping sambil pegangin rok karena khawatir masuk ke dalam jeruji roda motor. Dasar bencong sih yah, gak pernah-pernahnya naik motor dengan gaya duduk begini. Sempat kepikiran minta abang ojegnya pindah duduk belakang biar gw yang didepan aja. Tapi yaaa mari kita nikmati perjuangan ini.

Sampai di depan gedung hotel Sahid yang megah berhiaskan janur kuning, Lusi sempat-sempatnya moto saya lagi bayar ojeg. Biar beneran bukti kalo yang di depan itu tukang ojeg bayaran, katanya.

Udah dong yah aib saya terpapar lengkap dengan barang bukti nyata begini. Ternyata belum kelar!

Kami baru jalan beberapa langkah, terdengar suara tukang ojeg teriak lantang:

mbaaakkk, helm SAYA!

*balik badan, jalan pelan, copot helm, kembalikan ke abangnya sambil nyengir*

I don’t know how she does it

I don’t know how she does it

Berasa pernah dengar judul ini? Iyes memang judul itu ngetop banget karena cerita dari novel karya Allison Pearson ini sudah diangkat ke layar lebar, pemeran utamanya juga ngetop … siapa lagi kalo bukan Sarah Jessica Parker.

Novel dan film ini bercerita tentang perjuangan seorang wanita pekerja luar rumah yang jumpalitan mengatur waktu – tenaga – pikiran nya dalam usaha menyeimbangkan kehidupan rumah dan kantor. Nah ‘gw banget’ kan?

Ngaku aja deh, sebagai wanita yang sudah menikah dan memiliki anak … kepala kita tuh kadang ‘penuh’ yah. Saya juga ngalamin kok saat badan sudah selonjoran di kasur, tetapi pikiran kita masih aja melayang dan berpikir “ok besok pagi bikin sarapan yang gampang aja. Bekal makan siang anak tinggal cemplang cemplung karena si mbak udah motong sayuran dan ngulek bumbunya. Sampe kantor harus buka inet banking, bayar SPP, bayar listrik, bayar cicilan rumah, dll. Jam 10 meeting, harus presentasi. Jam makan siang harus sempetin ke ITC, cari kostum untuk anak-anak. Pulang kantor musti mampir ke supermarket, stok susu dan buah mulai menipis.

Mau kita ibu pekerja luar rumah, atau kita ibu rumahan, atau pun ibu dengan bisnis sampingan … pasti sama rasanya. Cuma mungkin beda di hal yang harus dilakukan dan pengaturan waktunya aja.

Betul??? *gaya ulama*

Makanya saya kurang setuju dengan istilah Full Time Mother. Karena semua ibu di dunia ini adalah Ibu Penuh Waktu. Tugas dan tanggung jawab seorang ibu tetap melekat pada diri kita, meski mungkin secara fisik kita tidak dirumah. Walaupun ada mbak / asisten / suster / baby sitter / supir / tukang taman yang membantu kita dalam mengerjakan tugas harian … tetap saja tanggung jawab hasil pekerjaan itu ada pada diri seorang ibu. Sekali kita menjadi seorang ibu, kita tidak bisa mundur atau resign. Kita tidak bisa lepas dari pekerjaan seorang ibu sampai akhir hembusan nafas kita.

Enaknya jadi ibu jaman sekarang, kita sangat terbantu dengan perkembangan teknologi dan saya sangat berterimakasih pada para penciptanya. Ada telpon yang membantu kita untuk berkomunikasi, ada internet yang membantu kita untuk mencari informasi, ada gadget dapur yang meringankan tugas kita, ada berbagai bumbu bubuk dan instan yang sangat mempersingkat waktu kita di dapur. Terpujilah orang yang memulai bisnis delivery service, karena nya kita ada backup saat kepepet hehehe.

Ingat kan bagaimana saya memanfaatkan teknologi saat Rafa ada Mandarin Speaking Test di sekolah?

Kemarin kami melakukannya lagi. Saya baca di buku penghubung bahwa Rafa akan ada Math Quiz hari ini. Makanya kemarin saya dan masguh memutuskan untuk naik kereta aja ke kantor (hari sebelumnya naik mobil). Supaya bisa sampai rumah lebih cepat dan menemani Rafa belajar. Dari sore saya sudah telpon dan mengingatkan Rafa “kamu baca-baca dan kerjakan latihan soal yang ada dibuku dulu ya, mas. Sambil tunggu mama pulang kerja. Sebisa kamu aja dulu

Saat saya di kereta, BlackBerry saya berisik pang-ping-pung. Alhamdulillah sore itu saya dapat duduk, jadi bisa sedikit leluasa untuk mengeluarkan dan melihat isinya. Ternyata dari Rafa. Begini awal percakapannya:

Rafa akan ulangan matematika dengan materi pecahan campuran. Masih inget dong, kan dulu jaman SD saya juga mempelajari yang sama. Percakapan terus berlanjut dengan menjabarkan beberapa contoh soal:

Jeng … jeng … jeng … kok makin susah nih angkanya. Hahahahaha *emak lemot karena menua*

Sebenarnya gampang sih soalnya, cuma ribet menjelaskannya via instant messenger seperti ini. Mana di kereta pula, harus konsentrasi udah sampai stasiun apa … takut kelewatan hihihi. Alhamdulillah udah hampir sampai. Jadilah percakapan saya tutup dengan “tunggu ya mas, 2 stasiun lagi mama sampai rumah. Kita belajar sama-sama ya, nak

Sampai rumah, Rafa minta ijin nonton TV sebentar sementara dia menunggu saya bersih-bersih. Setelah itu kami langsung duduk bareng dan belajar bersama. Kenapa saya bilang belajar bersama? Ya karena saya juga jadi ikut belajar :p

Saya belajar istilah-istilah matematika dalam Bahasa Inggris. Saya belajar bagaimana cara menjelaskan sebuah langkah mengerjakan soal dalam bahasa yang sederhana, yang sekiranya dapat dimengerti anak dengan mudah. Yang paling penting, saya belajar untuk bersabar.

Melihat Rafa bisa mengerjakan soal-soal berikutnya dengan mudah, melihat wajah puas Rafa saat selesai … semua itu cukup untuk menghilangkan rasa capek saya setelah seharian di luar rumah.

Saya sadar tidak banyak waktu yang saya berikan untuk anak-anak, karena harus meninggalkan mereka untuk kerja di kantor. Saya juga sedih saat anak-anak karnaval, saya tidak bisa datang ke sekolah dan melihat pesta kostum mereka. Saya juga tersindir saat walikelas Rafa bilang “If i’m not mistaken, I only saw you once before now. Right?

Yupe, walikelas 5 ini baru melihat saya sekali saat pembukaan tahun ajaran baru. Dan kalimat itu diucapkan pada pertemuan kedua kami saat saya ambil raport mid semester bulan lalu.

Saya cuma ke sekolah jika ada pertemuan orang tua murid. Saya cuma ke sekolah untuk ambil raport anak. Saya cuma ke sekolah kalau memang ada urusan yang tidak bisa diwakilkan.

Tapi saya masih monitor nilai anak-anak dari Parent Desk di website sekolah. Saya masih rutin tiap hari membaca buku penghubung komunikasi guru dan orang tua yang dibawa anak-anak ke rumah. Saya masih ikut berdiskusi dengan ortu murid lain di BBgroup karena disitulah kami saling mengingatkan kegiatan di sekolah. Saya masih memantau lalu lintas buku bacaan yang dipinjam anak saya dari Library Page di website sekolah. Alhamdulillah saya masih sempat menemani anak-anak belajar, mengerjakan pekerjaan rumah dan mempersiapkan anak sebelum mereka ulangan.

Kalo saya mulai gak sabaran, ditandai dengan nada agak tinggi plus sedikit ngomel saat ngajarin anak … Masguh langsung cepat tanggap “kaya nya kamu capek deh, ma. Ke kamar gih, biar aku lanjut ngajarin Rafa“. Alhamdulillah suami sangat support, mengerti dan bisa membantu meredam emosi. Kurang cinta apa coba? Hehehe

That’s how I do it.

Alhamdulillah I’m happy and proud to be able to do it. Not easy though

Makanya maaf aja saya suka sensitif kalau ada yang bilang “Ibu pekerja luar rumah kurang merhatiin anak

Situ kaleeee, sini mah enggak :p *maap ini emosih + hormon*

I don’t know how she does it.

Yang saya tahu saya harus bisa melakukannya.

Dengan segala cara, dengan tenaga yang saya punya, dengan rasa cinta terhadap keluarga … insya Allah saya BISA.

By the way, saya suka tagline film diatas:

IF IT WERE EASY, MEN WOULD DO IT TOO

So, how you do it?