Sejak akhir tahun 2013, saya sering mendapat tugas untuk pergi ke Semarang. Gak lama, setiap pergi cuma 1 malam atau bahkan pulang hari saja. Beberapa kali untuk mengisi seminar di beberapa universitas, lain waktu kunjungan untuk melihat pabrik dan rapat.
Wisata Kuliner Semarang
Meski jadwal padat, saya masih menyempatkan diri untuk menikmati jajanan khas Semarang khususnya di daerah Simpang Lima. Dari tahu petis, jagung bakar serut keju, soto pak man, nasi pecel, mie nyemek, sampai dimsum yang buka sampai dini hari.
Olahraga Pagi di Semarang
Saat menginap di Semarang, saya juga menyempatkan untuk jogging sebentar di pagi hari sebelum memulai aktifitas. Teman sekamar masih asyik selimutan, sementara saya keluar sendiri demi keringetan.
Klenteng Sam Poo Kong
Ketika dalam perjalanan ke airport, saya melihat Klenteng Sam Poo Kong … saya minta pak supir untuk minggir sebentar. Saya dan teman cuma memiliki waktu 10 menit untuk masuk ke dalam.
Dengan waktu terbatas kami mengelilingi seluruh bangunan, setelah sebelumnya membayar tiket masuk seharga Rp 3.000 (untuk turis mancanegara dikenakan Rp 15.000). Menurut Wikipedia, Kelenteng Gedung Batu Sam Po Kong adalah sebuah petilasan, yaitu bekas tempat persinggahan dan pendaratan pertama seorang Laksamana Tiongkok beragama islam yang bernama Zheng He / Cheng Ho. Terletak di daerah Simongan, sebelah barat daya Kota Semarang. Tanda yang menunjukan sebagai bekas petilasan yang berciri keislamanan dengan ditemukannya tulisan berbunyi “marilah kita mengheningkan cipta dengan mendengarkan bacaan Al Qur’an”.
Hanya bangunan di bawah ini yang kami tidak diijinkan untuk masuk ke dalam, karena merupakan tempat ibadah.
Lawang Sewu
Kunjungan berikut dimana saya memiliki waktu 3 jam sebelum jadwal pesawat pulang ke Jakarta, saya bersama rekan mengunjungi Lawang Sewu. Kebetulan tempat saya mengisi seminar berada tepat di sebrang gedung ini.
Masuk ke dalam Lawang Sewu, kita diminta membayar tiket Rp 10.000 per orang. Dengan memiliki waktu yang cukup, kami meminta tour guide untuk menemani kami berkeliling dengan tambahan biaya Rp 30.000. Ternyata bapak pemandu ini senang moto, jadi lah henpon saya dipegangnya dan beliau sibuk menyuruh saya berdiri di sana sini dan mengatur gaya saya. Herannya, saya nurut aja sama beliau. Hahahaha. Etapi beneran hasil fotonya tidak mengecewakan loh. Tapi macam narsis deh, semua foto pasti ada saya nya *nutup muka malu*
Lawang Sewu merupakan sebuah bangunan kuno peninggalan jaman belanda yang dibangun pada 1904. Semula gedung ini untuk kantor pusat perusahaan kereta api (trem) penjajah Belanda atau Nederlandsch Indishe Spoorweg Naatschappij (NIS). Gedung tiga lantai bergaya art deco (1850-1940) ini karya arsitek Belanda ternama, Prof Jacob F Klinkhamer dan BJ Queendag.
Masyarakat setempat menyebutnya Lawang Sewu (Seribu Pintu) dikarenakan bangunan tersebut memiliki pintu yang sangat banyak. Kenyataannya, pintu yang ada tidak sampai seribu. Bangunan ini memiliki banyak jendela yang tinggi dan lebar, sehingga masyarakat sering menganggapnya sebagai pintu (lawang).
Setelah cukup lama lawang sewu seperti tak terurus, akhirnya PT. KAI melakukan pemugaran Lawang Sewu yang memakan waktu cukup lama, selesai pada akhir Juni 2011 dan kembali dibuka untuk umum setelah pada tanggal 5 Juli 2011. Biaya pemugaran ini sangat besar, dan PT. KAI berhasil mendapat bantuan dana dari UNESCO.
Kesan seram yang dulu selalu identik dengan gedung Lawang Sewu, kini tidak bersisa. Meski hawa berbeda bisa kita rasakan (khususnya untuk mereka yang cukup ‘sensitif’) di beberapa ruangan. Saya tidak masuk ke ruangan bawah tanah, bukan karena takut, tapi karena saat saya datang air sedang masuk ke dalam ruangan cukup tinggi. Selain itu tangga besi untuk turun juga sedang dicabut karena dalam tahap perbaikan.
Ingin rasanya saya menuliskan semua cerita yang disampaikan oleh bapak pemandu ke dalam blog ini secara detil, tapi nanti postingannya menjadi terlalu panjang. Saya sarankan teman-teman yang mau berkunjung ke Lawang Sewu untuk menggunakan jasa pemandu wisata yang biasanya berdiri di dekat loket masuk. Dengan penjelasan pajang lebar yang diberikan, kita bisa mengetahui latar belakang bangunan ini dan lebih menghargai sejarah bangsa sendiri.
Kalau saya ada kesempatan lagi ke Semarang, mau coba menyusuri daerah kota tua ah. Ada yang mau jadi pemandu saya?