Cerita Istri Mahasiswa
2 tahun lalu paksuami mendaftarkan diri pada salah satu program beasiswa di kantornya. Alhamdulillah nama beliau termasuk ke dalam list 10 orang penerima beasiswa yang terpilih melalui serangkaian proses seleksi dari:
- 3,000 karyawan
- 200 orang pendaftar
- 123 pengirim karya tulis
- 30 penulis terbaik yang harus mempresentasikan ke dewan direksi

Kembali duduk di bangku sekolah, saat yang bersamaan juga harus mencari nafkah untuk istri dan 2 orang anak, sungguh tidak mudah dijalani. Apalagi ketika baru melalui 1 semester kuliah, datang keputusan dari kantor yang memintanya berangkat ke Qatar selama 6 bulan untuk membantu menyelesaikan sebuah proyek. Terpaksa mengajukan cuti 1 semester ke kampus, paadahal beliau lagi semangat-semangatnya belajar.
Setelah kembali ke Indonesia, paksuami langsung melanjutkan pendidikannya. Beliau harus mencuri waktu belajar, di tengah pekerjaan kantor yang lagi menggila. Setiap hari pulang ke rumah, macam mbak Cindrelela. Akhir pekan pun dihabiskannya di meja makan, sambil menggelar komputer jinjing dan aneka buku bacaan. Tak ada yang dilakukannya selain mengerjakan tugas kuliah yang pasti tidak akan sempat dikerjakannya di kantor. Berat badan turun sekian kilo, ditambah kantong mata yang sedikit menebal, dan kacamata yang mulai tidak bisa jauh darinya.
Kami menikah muda, saya di usia 21 tahun sementara paksuami di usia 25 tahun. Kala itu saya yang sebelumnya cuma lulusan STM, baru saja mulai kuliah, baru genap melalui 1 tahun pelajaran. Paksuami yang lulusan D3, juga baru melanjutkan pendidikan S1-nya. Sesama mahasiswa, kami memulai rumahtangga dengan saling memberikan semangat jika salah satu dari kami mulai malas belajar atau mengerjakan tugas kuliah. Alhamdulillah paksuami bisa menyelesaikan kuliah, tidak lama setelah anak pertama kami lahir. Sementara saya, baru bisa menyelesaikan pendidikan sarjana dalam waktu 7 tahun akibat cuti melahirkan dan beberapa kali operasi tulang belakang. Meski sempat menyerah, paksuami terus memompa semangat saya sampai mengontrak rumah yang lokasinya tidak jauh dari kampus saya. Katanya biar saya gampang mondar-mandir dan cepat menyelesaikan tugas akhir. Alhamdulillah walau terseok-seok akhirnya saya bisa juga meraih predikat sarjana.
Punya suami yang hobinya belajar (tidak hanya terus melanjutkan sekolah, tapi juga rajin ikut training dan ambil sertifikasi ini itu), ya sebagai istri saya cuma bisa mendoakan beliau, mendukung setiap langkah beliau, membantu memompa semangat beliau, hingga membuatkan cemilan saat paksuami belajar. Saya juga menemani beliau ke kampus ketika harus menjalani sidang S2 pertamanya (thesis pre-defense). Waktu sidang S1 saya tidak menemani, karena baru punya bayi.
Sebelum berangkat paksuami berpesan “kamu dandan kayak anak kuliahan ya, ma. Jangan kayak bu dosen“. Eh sampai kampus lah kok saya malah dikatain temannya, mahasiswa jalan sama pakdosen. Hahaha
Saya kembali ikut ketika paksuami menjalani sidang terakhirnya. Lumayan ikut bantu bawa potokopian dan menjadi ajudan yang siap disuruh kesana kemari. Istri siaga merangkap mbak gosend gitu deh judulnya. Hahahaha.
Paksuami punya prinsip “kalo udah sekolah gratisan (baca : beasiswa) gini, malu kalo nilainya ngepas“.
Beneran aja dong, di semester awal-awal beliau tebus dengan IPK 3,8 loh!
Tugas akhir juga dikerjakan dengan hati-hati karena mengambil tema yang terkait dengan pekerjaannya. Katanya lagi, “Sekolah dibayarin kantor, hasil akhirnya kalo bisa juga yang bermanfaat untuk kantor”
Meski IPK terakhir melorot karena ada mata kuliah yang harus ujian ulang, akibat jadwal ujian bentrok dengan tugas kantor ke luar kota. Tapi tetap aja beliau bisa lulus dengan predikat kumlot! *geleng-geleng*
Saya juga suka belajar … tapi saya gak suka ujian!
Hidup udah penuh ujian kak, mosok belajar juga harus melewati ujian sih.
Saya mah gitu orangnya … cetek otaknya. Hahahaha
Sebelum upacara pelantikan alias wisuda, beliau melihat penawaran beasiswa S3 nun jauh di negara barat sana. Sempat memohon ijin saya … tapi dengan berat hati saya tidak mengabulkan. Karena jika beliau melanjutkan S3, artinya beliau harus mengajukan Cuti Tanpa Gaji di kantornya. Dengan status saya yang sudah berhenti kerja kantoran, lah terus ini istri dan anak-anak mau dikasih makan apa?
Beliau masih bercita-cita, untuk bisa melanjutkan pendidikan S3 maksimal dalam waktu 5 tahun ke depan. Mari kita bantu aminkan.
Hobi belajarnya sudah dulu ya, pa.
Setelah ini semangat cari uang dan fokus nabung biaya kuliah anaknya. Kurang dari 2 tahun lagi tuh anak lanang lulus SMA.
Kalo anak-anak udah ada dana kuliah, silakan papa lanjut sekolah.
Etapi kalo bisa cari yang gratisan lagi yaaa. Hahahaha
#emak_irit #istri_merki
Terima kasih atas segala usaha dan kerja kerasnya, pa.
Terima kasih telah menjadi contoh nyata bagi anak-anak, bahwa pendidikan itu bisa ditempuh siapa saja tanpa mengenal batas usia.
Semoga kita bisa menjadi orangtua yang lebih baik dari orangtua kita, dan semoga anak-anak bisa menjadi manusia yang lebih baik dari kita – orangtuanya. Allahuma aamiin.
Keep making us proud, pap!




















