Skenario NYA
6 bulan terakhir merupakan perjalanan hidup yang makin membuat saya yakin atas kebesaran NYA. Ketika saya mantab untuk Tutup Karir, kejadian demi kejadian dibentangkan di hadapan saya sebagai bukti nyata bahwa cukup mantabkan hati dan DIA akan memberikan yang terbaik sesuai waktunya.
Akhir tahun lalu saat saya mengajukan surat Tutup Karir, suami menerima pengumuman ini:
Alhamdulillah, usaha suami untuk memberikan tauladan ke anak-anak bahwa belajar itu tidak mengenal usia dan kondisi … dikabulkan. Tidak sia-sia semua pengorbanan waktu dan pikirannya, membuat proposal / karya tulis di kereta dalam perjalanan ke kantor, membuat slide presentasi tengah malam di rumah ketika istri dan anak-anak sudah tertidur pulas. Semua terbayar lunas begitu namanya termasuk 10 orang penerima beasiswa yang terpilih melalui serangkaian proses seleksi dari :
- 3,000 karyawan
- 200 orang pendaftar
- 123 pengirim karya tulis
- 30 penulis terbaik yang harus mempresentasikan ke dewan direksi
Pihak kampus memberi informasi bahwa kuliah akan dimulai bulan Maret. Kok ya bisa pas … saya efektif di rumah pertengahan Februari. Artinya ketika suami harus kuliah setelah jam kantor berakhir, pulang tengah malam atau harus ke kampus di hari Sabtu … beliau sudah tidak perlu khawatir lagi. Karena saya ada di rumah menemani anak-anak.
Saat kuliah berjalan dan minggu kemarin suami sedang menghadapi ujian semester pertamanya, berita lain datang cukup mengejutkan.
Suami dipilih untuk membantu kantor pusat di Timur Tengah sana. Sebenarnya bukan sekali ini suami ditugaskan ke luar negeri, kami sudah sering ditinggal beliau keliling dunia. Dari mulai kepergian yang cuma 3 hari, 1 minggu, 2 minggu sampai paling lama sebulan. Kali ini beliau diminta pergi untuk 6 bulan. Rasanya sungguh berbeda.
Kok ya tugas ini datang ketika saya sudah tidak bekerja. Tidak terbayang jika suami harus bekerja jauh dari rumah, sementara saya harus mengunjungi pabrik di negara Panda.
Semua datang di saat yang tepat, dengan proses yang sangat singkat.
Terima visa, Minggu malam
Terima tiket, Rabu siang
Harus mulai kerja, Senin pagi
Pengumuman dan pamitan di kantor, Jumat sore
Padahal Jumat malam masih ada ujian di kampusnya. Tiap hari pulang ke rumah jam 11 malam. Dan minggu kemarin niatnya cuti kerja untuk belajar menghadapi ujian. Tetapi karena berita ini, terpaksa harus ke kantor mengurus adminitrasi.
Awalnya diminta berangkat, Sabtu malam. Alhamdulillah akhirnya berhasil minta mundur 1 hari menjadi Minggu sore. Setidaknya berangkat saat ujian sudah selesai, semoga tidak perlu ngulang … hanya cuti kuliah aja dan dilanjutkan saat pulang.
Shocking news for everyone, cuma punya waktu 4 hari untuk persiapan ditengah kesibukan suami dalam menghadapi ujian.
Sabtu siang saya minta keluarga (mami, mama, papa, kakak, adek beserta keluarga mereka) ngumpul di rumah kami. Sekedar makan siang, pamitan, maaf-maafan karena sebentar lagi Ramadhan, dan Masguh belum tentu bisa pulang sampai setelah lebaran.
Sabtu malam baru bisa packing segala bawaan yang dibutuhkan.
Karena tugas ini cuma 6 bulan (belum tau ke depannya apa harus diperpanjang), saya dan anak-anak tidak ikut. Kasian mas Rafa yang bulan Juli nanti naik kelas 3 SMP. Pindah sekolah jatuhnya tanggung dan harus down grade karena beda periode tahun ajaran. Diputuskan saya mendampingi anak-anak di Jakarta sampai setidaknya mas Rafa punya ijasah SMP dulu. Kalau nantinya suami harus memperpanjang masa tinggal/kerja setelah Rafa menyelesaikan SMP nya, kami siap menyusul dan anak-anak akan pindah sekolah ke sana.
Mami dan mama (mertua) kebetulan memiliki prinsip yang sama “posisi istri itu disamping suami”, dan memang mereka selalu mendampingi suami kemanapun rotasi kantornya. Hal ini pula yang mereka harapkan dari diri saya.
Hubungan pernikahan jarak jauh dengan beda zona waktu, akan tidak mudah. Ratusan pertanyaan yang diawali dengan kalimat “bagaimana kalau nanti …” terlintas di pikiran saya. Setelah berdiskusi, saya dan suami sepakat bahwa dalam kasus kami ‘keberadaan seorang istri‘ harus mengalah kepada ‘pendidikan anak‘ yang menjadi prioritas utama saat ini.
Mendapat kiriman foto-foto di atas dari suami, saya bersyukur dan bisa bernafas lega. Tempat tinggalnya sangat bagus, perabotannya lengkap, bahkan lebih luas dari rumah yang kami miliki saat ini. Di gedung yang sama, ada beberapa teman dari Indonesia yang sudah lebih dahulu menjalankan tugas negara. Setidaknya hilang beberapa kekhawatiran yang pernah terlintas di pikiran saya.
Lambat laun saya menyadari, bahwa apa yang pernah saya lalui, apa yang saya miliki saat ini dan apa yang sekarang saya hadapi … adalah bentuk jawaban atas doa-doa saya 5-15 tahun ke belakang.
Ingin jadi pramugari supaya bisa keliling dunia, diberikan pekerjaan yang mengharuskan saya mengunjungi beberapa negara.
Ingin dapat beasiswa supaya bisa merasakan hidup merantau, diberikan suami yang pekerjaannya harus menetap di negara orang. Bukan tidak mungkin kedepannya kami harus mendampingi beliau merantau, kan?
Ingin bisa mendampingi Fayra bercakap dalam bahasa Arab seperti yang digunakan di sekolahnya ( dan bisa memahami Al Quran sebagai cita-cita mulia) maka 2 bulan lalu saya mengambil kursus bahasa Arab, padahal saat itu gak ada bayangan kalo suami akan ditugaskan ke negara yang menggunakan bahasa tsb.
Jadi nikmat mana lagi yang bisa saya dustakan?
Kami hanya punya waktu 4 hari untuk menanamkan pengertian ke anak-anak.
Saya tak bosan mengatakan:
“Kita harus ikhlas papa pergi jauh, bagaimanapun papa kerja untuk kehidupan yang lebih baik bagi keluarga kita. Tugas kita yang ditinggal, meyakinkan papa bahwa kita baik-baik saja. Kalian tunjukan nilai sekolah yang bagus, Mama memastikan kalian sehat dan rumah terawat. Dengan demikian, papa tidak khawatir dan bisa bekerja tenang. Doakan supaya rejeki papa berlimpah, hingga kita bisa datang ke sana saat liburan nanti untuk menjenguk papa”
Suami saya berpesan ke anak sulung:
“Now that you’re the only man in the house, you have to be responsible. Lindungi mama dan adek ya, mas”
Memang berat, tapi kami yakin kami akan baik-baik saja.
Mohon doa yaaa