Sekolah Anak di Doha

Sekolah Anak di Doha

Sudah baca bagaimana pusingnya mencari sekolah di Qatar, terutama untuk anak yang berusia di atas 15 tahun kan?

Sebelum membawa anak-anak ke Qatar, saya sudah mencari informasi tentang beberapa sekolah dan mengirim email ke 8 sekolah untuk menanyakan ketersediaan kursi kelas 11 bagi Rafa. Dan saya hanya menerima balasan dari 2 sekolah saja, yang mana sekolah itu meminta anak-anak datang ke Qatar untuk tes masuk sementara sekolah yang satunya menyatakan bisa test online tetapi begitu saya cek biaya sekolahnya di luar kemampuan kami.

Akhirnya sesuai kesepakatan dengan paksuami, saya berangkat duluan tanpa membawa anak-anak untuk mencari sekolah sekaligus rumah. Kami merasa berat jika membawa anak-anak ke Qatar hanya sekedar untuk tes masuk sekolah. Tiket pesawat untuk kami bertiga JKT-DOH-JKT, membutuhkan uang 50 juta rupiah. Iya kalo anak-anak langsung diterima sekolah, kalo enggak gimana? Kan mending lanjut sekolah di Indonesia secara mas Rafa sudah kelas 2 SMA.

Saya mendatangi 8 sekolah internasional yang menggunakan English sebagai bahasa pengantar proses belajar-mengajar, tetapi hanya 2 sekolah yang bersedia memberikan form pendaftaran. Sementara 6 sekolah lainnya meminta kartu QID anak-anak, sementara kami belum punya.

2 sekolah ini mau memberikan form pendaftaran setelah pertanyaan “apa Anda yakin sebelum Term 2 dimulai, anak-anak Anda sudah mempunyai QID?” saya jawab YAKIN, insya Allah.

Saya jelaskan ke mereka kalo anak-anak masih di Indonesia karena mereka masih mengikuti ujian semester 1 dan baru akan menerima rapor di pertengahan Desember 2017. Secepatnya setelah itu, anak-anak baru akan berangkat ke Qatar. Mereka memperkirakan di Januari 2018, anak-anak sudah bisa punya QID. Jadi dengan senang hati mereka menerima pendaftaran dan memastikan memang ada kursi tersedia untuk kelas 6 dan kelas 11.

Akhirnya saya mengisi formulir pada 2 sekolah ini:

  • Sekolah pertama merupakan British School
  • Sekolah kedua merupakan American School

Anak-anak datang di akhir bulan Desember 2017, dan baru akan test masuk sekolah di awal Januari 2018.

Jika masuk sekolah British, Fayra yang berusia 11 tahun akan masuk di Term 2 – Year 7. Sementara di sekolah American, Fayra masuk di Semester 2 – Grade 6 (sama seperti di Indonesia). Year 7 atau Grade 6 di Qatar sudah masuk kategori Secondary/Middle School, padahal kalo di Indonesia kelas 6 itu masuknya masih di Primary School (SD).

Jika masuk sekolah British, Rafa yang berusia 16 tahun akan masuk di Term 2 – Year 12. Sementara di sekolah American, Rafa masuk di Semester 2 – Grade 11 (sama seperti di Indonesia).

Sulit bagi Rafa kalau masuk sekolah British karena kebanyakan sekolah di Qatar hanya menerima murid pindahan maksimal di Year 10. Kalau Rafa masih lanjut di International School di BSD masih lumayan deh, sesama Cambridge bisa transfer nilai. Tapi kan 1,5 tahun terakhir Rafa pindah ke SMA Negeri.

Program IGCSE sendiri harus mengikuti paket Year 10-11 atau Year 12-13. Sebagian besar sekolah menyarankan Rafa untuk turun ke Year 10, karena penjurusan sudah dimulai saat Year 10 dan ada ujian IGCSE yang harus ditempuh di Year 10 bulan Mei. Tanpa nilai ujian tersebut, Rafa tidak bisa langsung masuk di Year 12 sesuai usianya. Akan berat bagi Rafa kalo langsung ujian A-Levels di Year 13.


Saat anak-anak dibawa ke sekolah pertama yang sudah saya daftarkan (British School), Rafa melihat sekeliling dan menatap calon teman-temannya yang berkeliaran di lingkungan sekolah sambil berbisik ke saya, “Ma, I don’t get a good vibe here“. Gak lama paksuami berbisik ke saya “feeling ku kok gak enak di sekolah ini ya?“. Jadi saya mengurungkan niat untuk melengkapi dokumen yang dibutuhkan dan membayar biaya tes masuk. Saya percaya insting mereka.

Tapi begitu dibawa ke sekolah kedua (American School), Rafa dan Fayra kompak bilang “nah … boleh nih. Di sini aja, ma“. Saya langsung membayar biaya tes masuk di sekolah ini.

Alhamdulillah setelah mengerjakan lembar ujian Bahasa Inggris dan Matematika selama 2 jam dan menunggu hasilnya selama 2 hari, kami menerima email yang menyatakan anak-anak diterima.

Seminggu kemudian kami diminta datang ke sekolah melengkapi kekurangan dokumen supaya sekolah bisa mendaftarkan anak-anak ke Ministry of Education. Begitu sekolah mendapat email approval dari MoE, kami pun diminta datang lagi ke sekolah untuk membayar uang sekolah:

  • Registration Fee
  • Security Deposit
  • Annual Fee (dibayar setengah karena anak-anak masuk di semester 2)
  • Books Fee

Kebetulan pertengahan Januari sekolah baru ujian semester 1 dan akhir Januari sekolah libur akhir semester 1, sementara anak-anak kami sudah mempunyai nilai rapor semester 1 dari Indonesia. Jadi anak-anak mulai sekolah tanggal 5 Februari 2018, menunggu awal semester 2 sekolah dimulai.

Akhirnya anak-anak kami jadi masuk di salah satu American School yang lokasinya sekitar 8 KM dari rumah. Sementara kami belum memiliki kendaraan pribadi, anak-anak naik taksi langganan sebagai transportasi ke sekolah yang memang supirnya sudah kami percaya.


Hari pertama pulang sekolah, wajah anak-anak muram karena ternyata mereka langsung mendapat PR esai.

Tidak seperti sekolah di Indonesia yang lagi tren untuk tidak memberikan PR bagi anak-anak tetapi jam sekolah digeber sampai sore, sekolah di Qatar justru rajin memberikan PR esai dan menghimbau anak-anak untuk selalu membaca buku minimal 20 menit per hari.

Sepertinya memang di sini menerapkan sistem pendidikan seperti di negara barat yang lebih mengutamakan pemahaman logika,  membiasakan anak untuk mendeskripsikan pemikirannya, meningkatkan sikap kritis anak dan melatih anak untuk terbiasa menulis … jadi tugas sekolah kebanyakan berupa esai yang harus ditulis anak-anak secara manual, diluar tugas presentasi yang harus dikirim berupa file.

Saya memberikan pengertian ke anak-anak, bahwa menulis esai itu sangat dibutuhkan ketika mereka melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas dimana tugas akhir dibuat dalam bentuk tulisan yang bisa mencapai ratusan lembar. Lama kelamaan anak-anak makin terbiasa menulis esai dan tidak mengeluh lagi.


Alhamdulillah kemampuan bicara dan menulis bahasa Inggris anak-anak kami dianggap sudah cukup setara dengan teman sebaya. Sehingga di hari ke 2 sekolah pun, anak-anak sudah diberikan kebebasan untuk memilih bahasa kedua dalam mata pelajaran World Language. Ada hikmahnya juga anak-anak pernah bersekolah di International School di BSD bertahun-tahun yang memang sehari-hari menggunakan bahasa Inggris.

Ada anak teman kami yang sewaktu di Indonesia belajar di salah satu sekolah agama ternama, sampai sini si anak tidak boleh mengambil World Language … tetapi malah mendapat tambahan pelajaran Bahasa Inggris selama 3 bulan pertama karena dianggap kemampuan bahasa Inggrisnya belum setara dengan teman sekelasnya. Di sekolahnya waktu di Indonesia, belajar bahasa Inggrisnya kan pasive (hanya di hari dan jam tertentu, tidak digunakan sebagai percakapan sehari-hari). Setelah kemampuan English meningkat, bulan ke 4 baru si anak baru diperbolehkan untuk mengambil bahasa kedua di kelas World Language.

Sebulan pertama di Qatar, kalau Fayra bertemu anak-anak teman kami selalu diajak bicara dalam bahasa Indonesia. Mereka justru kaget ketika Fayra berbicara bahasa Inggris sambil bertanya “Owh you can speak English?

Fayra sambil tertawa menjawab “Of course, I speak English since I was 4 years old

Mereka bilang, “biasanya anak teman orangtua kita yang baru datang ke Doha pada gak bisa English. Makanya kita ajakin ngomong bahasa Indonesia.

Setelah itu mereka ketawa bareng dan sampai sekarang gak pernah ngobrol dalam bahasa Indonesia lagi, karena mereka agak sulit kalo ngomong dalam bahasa Indonesia. Harus mikir dan ada proses mengartikan sebelum mulut bersuara, secara mereka sudah tinggal di Qatar lebih dari 5 tahun dan menggunakan bahasa Inggris sehari-hari untuk berinteraksi dengan orang lain.

Saya sangat bersyukur dan berterima kasih kepada teman-teman yang lebih dulu tinggal di Qatar yang mengingatkan anak-anak mereka untuk mengajak ngobrol anak baru dengan bahasa Indonesia supaya tidak kaget. Saya pun meminta anak-anak untuk melakukan yang sama, dengan menekankan “tidak semua anak Indonesia yang baru datang ke Qatar memiliki kemampuan bahasa Inggris sama dengan kalian, jadi dekati mereka dengan bahasa Indonesia“.

Di hari kedua sekolah Fayra memilih FRENCH sebagai bahasa kedua dalam kelas World Language, katanya untuk persiapan kuliah fashion di Perancis kelak.  Mohon bantu aminkan ya, anak ini masih kekeuh mau jadi designer ^_*.

Sementara Rafa memilih ARABIC karena sudah tau huruf dan cara pelafalan sehingga tinggal mempelajarai kosakata dan tata bahasanya saja. Kemampuan bahasa Perancis teman-teman Rafa sudah jauh dan tidak mungkin dikejar dalam waktu 1 tahun, sisa waktu yang dimiliki Rafa untuk menyelesaikan jenjang pendidikannya di SMA.


Hanya ada 3 kelas di setiap angkatan, dan tiap kelas memiliki murid maksimal 25 anak. Fayra memiliki 1 teman Indonesia di kelasnya yang kebetulan bapaknya juga bekerja di perusahaan yang sama dengan papa Fayra. Sementara angkatan Grade 11, cuma Rafa yang berasal dari Indonesia. Teman-temannya kebanyakan berasal dari negara kawasan Arab, Nepal, Filipina, Amerika, Mexico, dan negara lain.

Rafa sempat bete kalo di jam istirahat, teman-temannya ngobrol dalam bahasa Arab sementara dia bengong gak mengerti yang diperbincangkan. Alhamdulillah sekarang Rafa sudah memiliki teman-teman yang mengajaknya ngobrol dalam bahasa Inggris.


Beberapa hari lalu saat pulang sekolah, Fayra menceritakan kalo di sekolah diselenggarakan tes MAP.

Measure of Academic Progress (MAP), is a computerized adaptive test which helps teachers, parents, and administrators improve learning for all students and make informed decisions to promote a child’s academic growth.

Tes berbasis komputer ini berisi soal Bahasa Inggris dan Matematika. Komputer yang akan menyesuaikan tingkat kesulitan soal berdasarkan jawaban anak terhadap soal sebelumnya. Jadi pertanyaan yang diberikan ke setiap anak belum tentu sama, tergantung kemampuan anak dalam menjawab soal sebelumnya.

Alhamdulillah Fayra dinyatakan lulus tes yang diselenggarakan 3 kali dalam 3 hari berturut-turut. Fayra juga mendapat nilai jauh lebih tinggi dari anak-anak seangkatannya yang sudah beberapa tahun sekolah di Qatar. Artinya Fayra dianggap mampu untuk menyelesaikan soal dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi untuk anak seusianya. 3 test dikerjakan dalam waktu 3 hari, nilai Fayra meningkat terus dari satu tes ke tes berikutnya. Alhamdulillah…


Alhamdulillah Rafa juga mendapat nilai sempurna di ulangan matematika pertamanya. Kemampuan Rafa dalam mengerjakan tugas Kimia juga dianggap lebih tinggi oleh teman-temannya. Sebenarnya ini karena pelajaran di Indonesia memang selangkah lebih dulu dari kurikulum Amerika.

Pelajaran Matematika dan Kimia yang sekarang diberikan untuk Grade 11, sudah dipelajari Rafa setahun yang lalu di salah satu SMA negeri di Tangerang Selatan. Jadi Rafa hanya mengulang apa yang sudah dipelajari sebelumnya. Alhamdulillah…


Untuk Fayra proses adaptasi berjalan lancar tanpa kendala berarti.

Sementara Rafa yang masih berjuang untuk menyesuaikan diri. Selain Arabic, pelajaran yang baru untuk Rafa adalah World History, American History (karena sekolah amerika) dan Language Art (Bahasa Inggris sastra).

Rafa sudah paham penyesuaian diri ini sebagai resiko yang harus dia hadapi. Karena sebelum memutuskan untuk pindah ke Qatar, kami sudah memberikan pilihan apakah Rafa mau menyelesaikan SMA di Indonesia karena tanggung tinggal setahun lagi. Kalau Rafa sudah lulus SMA dan masuk universitas, baru saya membawa Fayra untuk menyusul paksuami tinggal di Qatar. Rafa dengan mantap memilih ikut papanya dengan catatan SIAP DENGAN SEGALA RESIKO.

Kami sudah memberikan pengertian bahwa adaptasi itu memang berat. Tidak hanya untuk adaptasi anak-anak di sekolah, papanya juga berat beradaptasi di kantor dan saya sebagai ibu rumah tangga juga harus beradaptasi dalam menjaga kesehatan tubuh karena semua pekerjaan operasional rumah tangga harus dikerjakan sendiri.

Alhamdulillah Rafa mengerti dan sempat bilang “ya lagian kan aku juga gak bisa ngapa-ngapain selain mencoba bertahan, ma. Waktuku cuma tinggal setahun lagi“. Padahal saya tau dia sangat berjuang untuk tidak mengecewakan kami, Rafa merasa beban karena cuma punya waktu setahun sebelum masuk kuliah.

Saat video call sama mbahmami (ibu saya), Rafa dikuatkan dan diberi semangat. Mbahmami malah bilang “gak usah ngoyo, le. Ngulang juga gakpapa toh. Kamu masih muda kok. Gak usah dipaksain kalo memang berat. Kuliah enggak tahun depan juga gakpapa


Saya dan suami tidak berani menekan anak-anak dan mengharuskan ini itu, karena kami tau anak-anak sedang menjalani proses adaptasi yang tidak mudah tentunya.

Meskipun saya sudah mulai menerima beberapa tawaran kegiatan dan kolaborasi dengan teman-teman yang melihat sepak terjang saya di sosial media, saya masih belum mau melangkah dulu. Saya ingin memberi waktu setidaknya 3 bulan ini untuk memantau perkembangan anak-anak, sampai melihat anak-anak sudah menikmati kehidupan baru di negara ini.

Sekarang bukan waktunya saya untuk mengejar mimpi dan eksistensi diri, tapi sekarang waktunya saya mendampingi anak-anak dalam perjalan mereka untuk mencapai cita-cita dan mimpi.


Kami hanya berdoa dan berharap semoga anak-anak diberikan kemudahan dalam memahami pelajaran di sekolah dan bisa mengerjakan tugas sekolah dengam baik semampu mereka, juga diberikan kemudahan dalam beradaptasi dan bisa menyesuaikan diri.

Allahuma aamiin, ya Rabb.

Share this...
Share on Facebook0Share on Google+0Tweet about this on TwitterShare on LinkedIn0

4 thoughts on “Sekolah Anak di Doha

  1. Yakin anak2 pasti bisa survive ngikutin pelajaran dan berprestasi di sekolah barunya disana …. hugs dari jauh utk mbak de + fams

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *