Waktu SD sampai SMP, saya pingin banget jadi pramugari. Saya ingin melihat dunia dengan mata kepala sendiri. Saya lahir dari keluarga sederhana, bukan orang kaya yang bisa liburan keluar kota atau keluar negeri sesuka hati. Saya juga pernah bercita-cita untuk bisa hidup di negara lain. Sayangnya beberapa kali mencoba peruntungan untuk mendapat beasiswa sekolah di luar, belum satu pun yang berhasil saya dapatkan.
Nyatanya Sang Pencipta membelokan cita-cita saya, tapi tetap mengabulkan keinginan saya untuk bisa melihat dunia. Saya belum diijinkanNYA untuk bisa hidup di luar negeri, tapi saya diberi kesempatan untuk bisa tinggal seminggu beberapa kali dalam setahun. Kebanyakan untuk bekerja, tapi saya suka tambah 1-2 hari untuk lanjut liburan dengan biaya pribadi. Kadang juga saya ikut suami yang bekerja, nebeng hotel nya dan jalan-jalan sendiri atau sama anak-anak selama beliau bekerja. Suami saya lebih jauh perginya dan periodenya lebih lama dari saya, sepertinya tinggal benua Afrika yang belum disinggahinya.
Saya suka nyengir kalo ada orang yang udah lama gak kontak dan gak tau saya ngapain aja, trus komen atas foto yang saya upload di socmed dengan sebuah pertanyaan “kerjaan lo apa sih? pergi melulu”
Saya selalu konsisten menjawab “TKW”
Gak salah toh? Saya kan bagian dari Tenaga Kerja Wanita.
Paling bingung kalo ada orang yang komen “enak ya … kerjanya jalan-jalan terus”
Cuma bisa membalas “Alhamdulillah”
Memang enak, tapi gak selalu enak kok. Ini cuma sebagian yang menyenangkan dari pekerjaan, seperti yang pernah saya ceritakan di sini.
Enaknya udah pasti karena dengan perjalanan ini, kita bisa melihat daerah lain diluar tempat kita tinggal. Kita bisa merasakan makanan setempat, mengetahui budaya masrayakatnya, dan melihat tempat-tempat indah yang biasanya kita lihat di kartupos, majalah atau media lain. Kita bisa merasakan tinggal dari satu hotel ke hotel lain, dari mulai hotel melati (karena di daerah terpencil gak ada hotel bagus) sampai hotel bintang enam. Kalau bukan karena workshop di Dubai, saya gak akan pernah tau ada hotel bintang enam. Tempat ini pun dipilih panitia karena pemilik perusahaan saya adalah pemilik hotel ini juga.
Gak enaknya … udah pasti CAPEK. Karena dengan melakukan perjalanan dinas, pekerjaan kita jadi double. Kita tetap harus menyelesaikan pekerjaan kantor secara remote dalam 2 tempat.
Kalau perginya untuk meeting atau workshop, seharian energi kita habiskan untuk diskusi sementara begitu pulang ke hotel kita masih harus buka laptop untuk kordinasi dengan kolega yang kita tinggal. Pernah saya menempuh perjalanan total 20 jam PP (@10 jam terbang) hanya untuk rapat satu setengah hari saja (8 jam di hari pertama + 3 jam di hari kedua).
Kalau perginya untuk training, bisa sedikit lebih santai. Karena tugas kita cuma belajar aja, sampai hotel ya masih buka buku untuk lanjut belajar. Di akhir periode training akan ada tes, jadi harus siap menghadapinya. Pertama kali saya keluar negeri adalah untuk training di Belanda selama 2 minggu. Supaya gak rugi sudah menempuh perjalanan @18 jam, saya nambah 1 hari untuk mampir ke Belgia.
Kalau perginya untuk mengisi seminar, biasanya perjalanan ini sangat singkat. Bisa dilaju pulang hari saja. Pergi pagi, sampai airport dijemput untuk langsung ke lokasi, trus ngamen (jadi pembicara selama 2-3 jam), setelah itu balik lagi ke airport untuk pulang ke Jakarta. Kalau acaranya dimulai jam 8 pagi, saya pergi malam sebelumnya tapi setelah makan siang sudah balik lagi ke Jakarta.
Kalau perginya untuk melihat pameran, kita harus bisa memanfaatkan waktu selama pameran berlangsung untuk bertemu dengan supplier/vendor membahas kemungkinan kerjasama yang bisa dilakukan.
Kalau perginya untuk inspeksi produksi ke pabrik, kita diminta bos sekalian untuk meluangkan waktu bertemu dengan tim Sales untuk melanjutkan negosiasi atau tim R&D (Research and Development) untuk membahas product customization. Gak jarang rapat lanjutan ini dilakukan setelah pabrik tutup (burik alias bubaran pabrik), bisa di restoran sekalian makan malam, di lobby hotel, atau pindah ke ruang rapat dalam kantor (beda gedung sama pabrik, kadang juga beda lokasi). Kadang saya harus menunda jadwal pulang karena ada masalah atau ada pekerjaan yang belum selesai.
Itu lah sebabnya saya sering menulis kalau kami kadang kurang tidur saat tugas luar, karena kami baru sampai hotel menjelang pagi. Gak bisa langsung tidur juga, karena masih harus lanjut buka laptop untuk kordinasi, membalas email dan membuat laporan.
Yang agak repot waktu saya masih menyusui anak-anak tapi terpaksa harus melakukan perjalanan dinas. Selain repot membawa peralatan menyusui, saya juga harus curi-curi waktu untuk mompa. Telat sedikit membuat PD bengkak dan sakit. Kalau perginya masih bisa ditempuh dalam waktu 1-3 jam, susu hasil pompa bisa menjadi oleh-oleh untuk anak di rumah. Tapi saat perjalanan harus ditempuh lebih dari 10 jam, biasanya dengan amat sangat terpaksa semua hasil pompa harus saya buang. Ngenes banget saat menuang ke wastafel, padahal harusnya itu bisa menjadi stok anak selama beberapa hari.
Moms, do you feel me?
Saat sendirian di kamar hotel, langsung ingat dengan keluarga yang kita tinggal di rumah. Kangen suami dan anak-anak sudah pasti. Beda timezone juga kadang menjadi kendala tersendiri.
Aplikasi messenger dan video call menjadi obat malarindu paling mujarab. Biasanya saya lakukan pagi sebelum anak-anak ke sekolah, atau malam menjelang mereka tidur. Meski anak-anak sudah biasa ditinggal pergi dan sebelum berangkat sudah dijelaskan berapa lama kita akan pergi, tetap saja mereka suka merajuk meminta kita untuk cepat pulang. Ini yang suka bikin tambah susah tidur. Nangis sebelum tidur? sering itu mah. Hehehehe. Entah mengapa sejak punya anak, kran air mata saya jadi kendor dan sowak … gampang banget netes.
Paling berasa itu saat ditinggal pergi, tetiba anak-anak sakit di rumah. Kompak pula berdua sakitnya, macam main karambol, tek tok nularnya.
Baru nyampe hotel setelah miting panjang yang menguras tenaga dan pikiran, henpon menerima pesan dari suami “Baru pulang dari UGD RS Bintaro. Anak-anak tidur di kamar kita, aku tidur di lantai pakai kasur lipat. Demam tinggi semua” sambil mengirim foto ini:
Arrghhhh … toloongg … saya butuh pintu doraemon yang bisa pergi kemana saja.
Kanebo mana kanebo?
Tisu aja gak cukup untuk membendung airmata saya malam itu.
Sampai Jakarta saya langsung cuti beberapa hari untuk menemani Rafa yang ternyata kena Demam Berdarah dan harus dirawat di RS.
Merasa bersalah?
Kadang terbersit sih. Tapi tidak menjadikannya sebagai beban. Ini hanya sebagian resiko dari pekerjaan. Suami dan anak-anak sudah paham dan mengerti. Yang penting suami ridho dan mengijinkan saya bekerja di luar rumah dengan segala konsekuensi yang harus dihadapi bersama.
Bagaimanapun saya selalu merasa bersyukur karena tidak semua orang diberikan kesempatan yang sama untuk bisa melakukan perjalanan dinas seperti ini. Saya selalu berusaha menikmati dan mengambil pelajaran dari setiap perjalanan.
Semoga Allah SWT menghitung setiap langkah saya keluar rumah sebagai ibadah dan penghasilan yang saya dapatkan sebagai sedekah bagi keluarga.