Kenapa yah, di luar sana kata ‘Wanita’ dianggap tidak bisa bersanding dengan kata ‘Teknologi’
Banyak orang beranggapan kalo wanita tidak mengerti teknologi. Kalaupun ada wanita yang mengerti perkembangan teknologi, dianggap bukan wanita biasa. Dituduhnya ada titisan setengah pria dalam jiwa wanita itu. Hahaha
Ketika saya menolak usulan mami untuk mendaftar ke Sekolah Perawat dan Sekolah Apoteker setingkat SMA, bahkan memilih STM Telkom sebagai penggantinya … saya sadar sepertinya saya termasuk golongan bukan wanita biasa. Yang saya tidak paham adalah resiko menjadi bagian dari golongan tersebut di kemudian hari.
Saya mengawali karir saya di dunia telekomunikasi dari mulai posisi TEKNISI. Waktu itu saya bertugas mengoperasikan mesin Calling Card Internasional. Masih inget gak sih jaman dulu kalo mau nelpon ke luar negeri, suka beli kartu calling card di toko? Trus kita tekan nomor tertentu, masukan 14 digit nomor yang ada di balik kartu (sebagai pengganti password), kemudian bisa bicara sesuai dengan jumlah nilai uang dalam kartu tsb. Nah waktu itu (1996-1999) saya bertugas menjaga mesin tsb beropersional secara baik.
Kemudian saya pindah kantor, dan diberi kepercayaan bergabung dalam tim Product Development. Saat itu produknya berupa SMS service. Lalu saya pindah perusahaan lagi, tapi masih berurusan dengan SMS service yang layanan utamanya berupa jadwal bioskop sampai mengerjakan projek terakhir yaitu M-ticketing (mesin untuk membeli tiket bioskop melalui online dan SMS). Lanjut pindah lagi ke operator telekom juga masih di product development, tapi kali ini berurusan dengan Voice Service (Ring Back Tone, Missed Call Notification, dll). Terakhir saya diminta untuk develop SIM card dan aplikasi yang ditanam didalamnya.
Secara SIM card pastinya berhubungan erat dengan perangkat telepon, akhirnya saya dipercaya bergabung ke dalam departemen baru yang tugasnya ngurusin henpon dan modem.

Saya menemukan passion saya di pekerjaan ini (sudah 3x pindah untuk pekerjaan yang sama dalam waktu 6 tahun). Setiap hari saya merasa seperti anak kecil yang berada di dalam taman bermain, seperti yang pernah saya ceritakan di sini. Perkejaan ini juga yang membawa saya untuk melihat secara langsung pameran gadget terbesar di dunia, dan pernah saya share apa yang saya temukan dalam tulisan di sini.
Bagaimana saya bisa menyebut pekerjaan, kalau tiap hari pemandangan saya seperti ini?

Di saat orang lain sibuk memilih dan menghitung uang yang dibutuhkan untuk membeli gadget terbaru, saya setiap hari WAJIB bermain dengan barang-barang tersebut secara cuma-cuma. Benda-benda tersebut berhamburan di meja saya untuk di coba.

Seperti hal nya tukang bikin kue yang harus paham bahan dasarnya, cara membuatnya dan bagaimana menyajikannya di dalam piring atau kemasan. Sebagai ‘tukang bikin henpon’ (julukan Fayra untuk saya) … saya juga harus paham cara pakai, bahan-bahannya dan kemasannya. Dari mulai processor, memory, screen, camera, berbagai jenis material yang digunakan untuk casing nya sampai memikirkan kemasan yang menarik. Padahal ini printilan laki-laki yang biasanya wanita tidak peduli.

Lalu kalo kerjaan sudah sesuai passion, kenapa saya khawatir?
Apa aja sih resiko nya?
Tentunya wanita yang berkecimpung di bidang teknologi, akan termasuk ke dalam kaum minoritas. Dalam melakukan interaksi pekerjaan, kami selalu dikelilingi laki-laki. Saya pernah kerja dimana 1 lantai cuma ada 2 wanita. Pernah juga harus lembur dan menginap di kantor bersama mereka. Kalau menjadi perempuan sendiri dalam ruang rapat mah sudah biasa.
Resiko pertama adalah wanita harus pintar menjaga diri dan siap di-bully. Yang saya maksud disini bukan secara kekerasan fisik yah, tapi bisa sekedar menjadi bahan bercandaan.
Kadang wanita juga dianggap remeh dan lemah. Sehingga resiko berikutnya adalah wanita harus bekerja lebih giat dan berani membuktikan diri bahwa kami bisa melakukan apa yang mereka lakukan.
Bahkan ketika seorang teman mengajukan CV saya sebagai kandidat untuk posisi kosong di departemennya, wajar ketika sang bos bereaksi dengan berkomentar “perempuan? tau apa dia?“. Setelah dibujuk, si bapak akhirnya mau menyediakan waktu untuk interview saya. Alhamdulillah saya berhasil menjawab pertanyaan yang diajukan dan menerima posisi kosong tsb.
Pernah saya menerima komentar orang saat ngobrol tentang gadget “ih tumben loh mbak, saya ketemu perempuan yang ngerti beginian“. Saat itu saya sampai bingung harus tersanjung atau tersinggung. Hahaha
Bekerja di lingkungan laki-laki, maka tidak ada alasan kinerja menurun karena alasan PMS (siklus bulanan wanita). Resikonya adalah kita harus bisa manage emosi bawaan hormon, yang kadang suka lepas dari kendali otak. Perempuan lain pasti ngerti kan maksud saya? Hihihihi
Kita juga tidak bisa menolak tugas ke luar kota/negeri sendirian, hanya karena kita wanita. Walau kadang pergi nya bisa bareng 3 – 7 orang, menjadi perempuan sendiri di dalam rombongan artinya kita mendapat privilege menempati kamar sendiri. Akan berasa gak enaknya ketika harus tidur sendirian di kamar yang luas banget dalam hotel yang dibangun tahun 1800an. Spooky ceu! Gak mungkin numpang tidur di kamar sebelah yang isinya laki-laki semua dong? Yang ada akhirnya TV di kamar tidak mati sampai pagi sebagai teman tidur saya hahahahaha.
Mengalami hal itu semua, tidak membuat saya menyesal dengan pilihan dan jalan hidup saya yang unik ini. Malah saya bersyukur bisa masuk ke dalam dunia yang gak biasa untuk wanita. Meski artinya saya harus bekerja sedikit lebih keras dari laki-laki untuk membuktikan diri.
Apa ada teman lain yang mengalami hal sama dengan saya?
Semangat terus ya!